TRIBRATA KAMI POLISI INDONESIA: 1. BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA. 2. MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN, KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN KEPADA PANCASILA DAN UUD 1945. 3. SENANTIASA MELINDUNGI, MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN.
ARAHAN WAKAPOLRES
ARAHAN KAPOLRES
CEK TKP
GELAR PERKARA AWAL
GELAR PERKARA AWAL
KOORDINASI OLEH PENYIDIK PPA
JAM PIMPINAN
KOORDINASI DGN TNI
KOORDINASI POLDA
PENGANGKATAN SIDIK JARI LATENT
KOORDINASI P2TPA
GIAT TIPIKOR
PEMERIKSAAN PPA
KOORDINASI DGN MASYARAKAT
APP KASAT
TINJAU LOKASI
ANTI KEKERASAN
KEGIATAN UNIT TIPIKOR
KOORDINASI TIPIKOR
ANTI KEKERASAN
KEGIATAN UNIT TIPIKOR
KOORDINASI TIPIKOR
PEMERIKSAAN TIPIKOR

DASAR HUKUM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI OLEH PENYIDIK

Oleh : Adi Condro Bawono

1. Dasar hukum untuk melakukan rekonstruksi adalah Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana (“Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana”). Bab III tentang Pelaksanaan, angka 8.3.d Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa:
“Metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik:
(1) interview,
(2) interogasi,
(3) konfrontasi,
(4) rekonstruksi.”

Jadi, rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana. Tujuan dari pemeriksaan sendiri dapat disimpulkan dari pengaturan Bab III angka 8.3.a Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan:


“Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan.


”Sedangkan, asas praduga tak bersalah dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan:


“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”


Mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan” (hlm..134) menjelaskan,


Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap."


Jadi, sepanjang rekonstruksi dilakukan dengan menghormati hak-hak tersangka sebagai seorang manusia yang memiliki hakikat dan martabat, asas praduga tak bersalah tidak dilanggar. Lebih jauh, simak juga artikel dari Romli Atmasasmita berjudul Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik.


2. Menurut Pasal 66 KUHAP, “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Yahya berkomentar mengenai pasal ini (hlm. 42) sebagai berikut:


“Penuntut umumlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa. Atau penyidiklah yang berkewajiban bertugas mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan membuktikan kesalahan tersangka.”


Karena tersangka tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan, ia dapat menolak untuk melakukan rekonstruksi. Hal ini juga sejalan dengan pengaturan Bab III angka 8.3.e.6 Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan:


“Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun dalam pemeriksaan.”

Jika tersangka menolak untuk melakukan rekonstruksi, penyidik dilarang untuk menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun untuk memaksa tersangka melakukannya.

hal ini juga berhubungan dengan asas non-self incrimination, yaitu seseorang tersangka/terdakwa berhak untuk tidak memberikan keterangan (termasuk dalam bentuk rekonstruksi) yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan. Simak juga artikel Hak untuk Mangkir.


3. Sesuai pengaturan Bab III angka 8.3.d jo. angka 8.3.a Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana, hasil pemeriksaan rekonstruksi dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mengenai BAP ini Yahya menjelaskan (hlm. 137), jika suatu BAP adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksa. BAP yang diperoleh dengan cara seperti ini tidak sah. Cara yang dapat ditempuh untuk menyatakan keterangan (dan rekonstruksi) itu tidak sah, dengan jalan mengajukan ke praperadilan atas dasar penyidik telah melakukan cara-cara pemeriksaan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, dalam arti pemeriksaan telah dilakukan dengan ancaman kekerasan atau penganiayaan dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan Yahya di atas, jelas bahwa terhadap BAP hasil dari rekonstruksi dapat dilakukan upaya praperadilan, misalnya dalam hal BAP merupakan hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksaan.



Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana; 
  2. Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana.

Sumber : http://www.hukumonline.com





banner ads banner ads banner ads banner ads

 
Terima Kasih Atas Kunjungan dan Dukungan Saudara Kepada Kami …. Dukung Kami untuk memberikan Pelayanan Yang Terbaik untuk Masyarakat…….. Kami Siap Memberikan Pelayanan Cepat, Tepat, Tranparan, Akuntabel dan Tanpa Imbalan……Maju Terus Polri Dalam Memberikan Pelayanan Yang Terbaik Untuk Masyarakat Bangsa dan Negara......